Kamis, 20 Maret 2008

Catatan Greenhill Glanvon Weol Dari Peluncuran Antologi Puisi Bahasa Manado: "MENGGAGAS KESADARAN LOKALITAS SASTRA MANADO"

Sebuah antologi puisi bahasa Manado dengan judul “999” baru saja menyapa publik penikmat sastra di Manado. Peluncuran buku ini memang jauh dari darimewah dan “wah”, sebab cuma dilaksanakan di kantin kecil yang kebetulan bertempat di fakultas Sastra UNSRAT. Acaranya sederhana dan jauh dari kesan formal : ucapan selamat datang dari yang empunya kantin, kemudian langsung karya tersebut diperkenalkan lewat serangkaian tanya jawab yang lazimnya disebut “bedah buku” sambil ngopi. Yang hadirpun tidak berjubel, sebagaimana launching karya Ayu Utami misalnya. Cuma sukup untuk mengisi kursi-kursi kantin yang tersedia. Pun, tak ada sastrawan sekaliber Rendra atau Taufik Ismail yang hadir. Acara ini cuma dihadiri oleh para pegiat seni dan sastra dari lingkaran yang terbatas saja. Semuanya nampak terlalu sederhana, untuk menghindari penggunaaan kata “kurang”, untuk sebuah peluncuran buku. Tetapi mungkin, semuanya akan menjadi hal yang luar biasa jika kita melongok lebih jauh.

999” adalah buku keempat yang diterbitkan oleh apa yang bisa dinamakan “Para Pegiat Sastra Muda di Manado” yang berasal dari lingkaran berbagai elemen organisasi seperti KONTRA (Komunitas Pekerja Sastra), Teater Kronis, FIP Sasra (Forum Independen Peduli Sastra) Sulut, ForSASTRA (Forum Sastra) Manado, Forum Pecinta Buku, Teater Bukit Hijau, Onetique Teater, Teater Remagaf, Teater Al, Teater Jarum, Teater Asbak, Teater Unik dan Teater Awan, disamping beberapa person yang terlibat secara non-organisasi. Semua upaya penerbitan ini merupakan perwuudan dari “2005 : Tahun Kebangkitan Sastra manado” yang dicanangkan oleh lingkaran kami. Boleh dibilang, semua upaya penerbitan dalam konteks “underground” dan swadaya karena kamipun merasa masih memiliki keterbatasan dalam banyak hal untuk bisa mempublikasikan karya-karya kami. Walaupun nantinya karya-karya ini terbit dalam skala kecil dan sederhana ini, sudah merupakan jawaban kami atas beberapa anggapan yang mengatakan bahwa daerah kita yang tercinta ini “miskin kreasi”. Tahun ini kami berencana untuk melakukan penerbitan karya-karya sastra lokal secara estafet dalam berbagai bentuk. Kami merencanakan menerbitkan beberapa kumpulan puisi, kumpulan cerpen, beberapa kumpulan naskah darama/teater dan esai-esai. Sulit memang, karena semua digarap sebisa dan semampunya. Namun langkah sudah diambil, tak mungkin mundur lagi.

Beberapa waktu terakhir ini, mamang Sastra Nasional Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kita menyaksikan kelahiran banyak penulis-penulis dengan karya yang beragam pula. Iklim bersastra pun sudah cukup tercipta di masyarakat khususnya kaum muda, terdongkrak oleh tren beberapa ikon mereka yang mempertunjukkan ketertarikan terhadap dunia sastra, atau menggunakan dunia sastra sebagai daya tariknya, sebagaimana termanifestasi dalam karya film “Ada Apa Dengan Cinta” yang fenomenal itu. Pendek kata, terlepas dari kemungkinan hanya tren sesaat, sastra sedang dalam posisi yang “cukup dihormati dan diminati” ketimbang waktu-waktu sebelumnya.

Namun semua diatas terjadi dalam konteks nasional saja. Berbicara tentang sastra lokal (dalam hal ini Manado, tentunya) kita masih harus mengejar ketertinggalan kita. Manado bisa dikata vakum dari upaya-upaya penerbitan sastra selama satu dekade atau mungkin lebih. Padahal suatu sisi eksistensi seorang penulis/sastrawan/penyair, mau tidak mau akan dilihat dari publikasi karyanya.

Kita sayangnya memiliki banyak sastrawana yang sebenarnya tergolong senior tetapi entah “tidur” atau melupakan lokalitasnya. Kalaupun ada “sastrawan senior manado” yang memperkenalkan karyanya, hanya ibarat “harap-harp adapa ikang ayang, dapa kamari nasi deng garang”, begitu kata beberapa pengamat. Ini diperparah dengan ketidak perdulian, atau ketidak mampuan, dari lembaga-lembaga pemerintah, yang sebenarnya sudah seharunya dan pada porsinya bisa berbuat banyak untuk memajukan Sastra dan Seni daerah pa umumnya. Padahal kelihatan baik di tataran Global maupun kancah Sastra nasional ada kecenderungan untuk back to local, kembali ke indentitas.

Didunia seni global telah lama membara semangat postmodernisme yang dengan gencar menggagas pengembangan kemampuan untuk artistik lokal dan menyerukan untuk kembali ke tradisi lokalitas. Di Jakarta sendiri, nenurut poengamatan penulis, kecenderungan “sadar asal” ini telah termiliki oleh banyak sastrawan dan seniman, dan hebatnya ini sering dijadikan “kartu truf” untuk menghadapai “Nasionalisme Seni” atau mungkin kata lainnya : melawan Sentralisasi Kesenian. Gerakan ini kelihatan dominan diusung oleh mereka yang diluar arus mainstream dan bukan “seniman mapan”, yang juga sering menggelar kegiatan secara underground namun intens.

Pada tataran lokal, penerbitan kami adalah bukti yang menunjukkan telah adanya usaha-usaha untuk “tidak mau lagi tinggal diam” dalam konteks kami tidak mau terkungkung dengan keterbatasan material, terlebih keterbatasan visi. Bahkan lebih dari itu : kami sebagai pegiat dunia sastra, telah sampai kepada sebuah kesadaran berbahasa lokal, seperti tercontoh dalam Kumpulan Puisi Bahasa Manado “999” tersebut. Disini kami berusaha membangkitkan kesadaran dari para sastrawan lokal lain, dan syukur-syukur masyarakat setempat, untuk menghargai bahasa yang digunakannya sehari-hari tersebut sebagai “torang pe bahasa” yang akan dapat punah seiring terkikisnya penggunaan bahasa tersebut dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Kami yakin, salah satu upaya terpenting untuk mempertahankan budaya lokal, yang adalah identitas lokal, adalah dengan mempertahankan penggunaan bahasa lokal. Dan salah satu cara untuk melestarikan bahasa lokal antara lain menuliskannya dalam bentuk apapun termasuk puisi. Kami sadar, tanpa kejelasan identitas, kita akan tenggelam dalam “pusaran zaman” dan bahasa adalah penentu signifikan dalam punah-tidaknya sebuah kebudayaan. Mungkin terlalu ekstrim untuk menganggap nihil apa yang dikenal dengan ‘budaya nasional”. Tetapi menurut kami, tanpa kita mengetahui dengan jelas identitas kita sebagai bagian dari budaya lokal kita tidak akan pernah dapat duduk seimbang dalam konteks budaya nasional.

Tegasnya : Matinya sebuah bahasa adalah pertanda matinya sebuah peradaban !

Dalam kongklusi bedah buku peluncuran “999” muncul sebuah aura penyadaran. Ternyata bahasa Manado bukan hanya enak dipakai berbincang, tetapi juga nikmat dipuisikan. Sama deng ubi colo deng dabu-dabu! Kalu begitu, pasti bisa juga untuk yang menulis bentuk lain. Kami memang baru selangkah, baru setengah jalan. Tetapi dengan modal kedaran lokal yang berhasil tersulut dalam tiap-tiap diskusi, entah dalam peluncuran buku seperti kemarin, atau bicang-bincang ringan di kantin, kami yakin bahwa lokalitas dapat menjadi wacana yang benar-benar membawa perubahan, bahkan bukan cuma dalam Sastra Manado.

Penulis Praktisi Sastra Manado, Koordinator Komunitas Pekerja Sastra Sulut

Termuat bersambung di Global News, 22-23 Maret 2005